Aku tidak sedang bermimpi berada di lingkungan baru dengan kehidupan yang berbanding terbalik dengan diriku sendiri.Aku berhenti di persimpangan, lampu lalu lintas warna kuning berkedip hanya beberapa kendaraan yang melintas,gedung pertokoan juga sudah tutup,kupercepat kayuhan sepedaku.Portal Puri Nirwana masih terbuka namun satpam nampak garang berjaga,sampai di asrama lampu sakan sudah mati,kecuali sakannya.Kumasukkan sepeda dan merebahkan tubuh di mushola.
Tiiitt...tiiitt..tiiitt,"mas bangun...udah jam tiga".Dengan mata yang masih berkunang-kunang kulangkahkan kaki sambil meraba dinding."Sholat dulu mas,setelah itu jagain adik ya"."Iya bu".Aku segera ke kamar mandi dan mengambil air wudhu.Setelah tahajud aku kembali didepan meja belajar,"Huft.jam pertama nanti presentasi sistem kelistrikan"."Laporan penambahan sistem keamanan pada sistem kelistrikan motor bensin,dengan media praktek motor bensin kopling honda megapro 2010.Dalam motor jenis kopling ini sistem doble stater tidak dilengkapi sistem keamanan sehingga ketika pengendara tidak mengetahui kodisi gigi belum netral maka ketika mesin dinyalakan motor akan ngetrail.Penambahan sistem keamanan dalam percobaan ini adalah dengan menyambung kabel doble stater dengan kabel rem,sehingga mesin tidak bisa dinyalakan tanpa menarik tuas rem.Percobaan ini terinspirasi dari sistem keamanan kelistrikan pada motor matic dan kami terpkan pada motor kopling karena resiko motor ngetrail saat mesin dinyalakan ketika posisi gigi belum netral sangat besar terutama bagi pengendara pemula.Sehingga penambahan sistem keamanan ini dapat menghilangkan resiko motor ngetrail dan menambah keamanan pengendara pemula ..."."Hiks...Hiks..hiks,Ibuu !".Aku segera meuju kamar adik,"heeeh,cuup...cuupp sini ditemenin mas..."."Ngak mauu...Ibu mana mas..Ibuu...!."Ehh,adek kog gitu sihkan ada mas ibu masih masak sini tidur lagi yaa.."."Engak mauuu..ngak mau mas..Ibukk!"."Heeh,,adek kog nakal gitu to,udah ada mas masih aja rewel,sini...".Ibu kembali menidurkan adik."Mas,tolong angkat nasi kuning di dandang terus pindahin ke bakul ntar wajan besarnya ganti taruh di atas tungku".Aku mengangguk.Asap terus mengepul setelah tutup dandang kubuka,segera kupindahkan nasi yang baru matang ini ke bakul,setelah itu kurendam dandang bekas menanak nasi tadi dan menaruh wajan ke atas tungku kayu sembari mengotak-ngatik kayu bakar agar apinya tidak terlalu besar."Sebentar,wajan ini buat menggoreng apa ya?".Aku menghampiri ibu di kamar."Bu?.."dia ketiduran ."bu,itu wajannya sudah siap."."Haa?,iya..iya bu mau menggoreng telur,kamu disini aja jagain adik."."Iya bu".
Hemm...aku membawa buku pelajaranku ke kamar adik sambil membaca materi pelajaran dan laporan sistem kelistrikan tadi,setidaknya relay yang terbakar ini bisa mewakili keslahan dalam SOP sistem keamanan ini.Hari ini ada ujian Bahasa Inggris,sambil tiduran di sebelah adik aku membaca kembali materi kemarin."Mas,udah subuh ayo bangun"."Astaugfirlullah,aku ketiduran..."."Cepat sholat subuh,trus bantuin ibu membungkus nasi"."baik bu".
setelah itu aku memasukkan nasi ke ranjang sepeda ibu."Setelah ini langsung sarapan,adik dibangunin kalau mau diajak sarapan sekalian trus langsung dimandiin ya,ini nasi yang mas bawa ada dua puluh,ini yang tiga ibu pisah buat sarapan temannya mas."."iya bu"."Trus jangan lupa kresek besarnya"."Ini kan?".Iya,masukin ke tas aja!"."Ngak cukup bu,aku bawa laptop sama kamus udah berat bu!"."yaudah masukan ke jok motor aja"."Jas Hujannya udah ada"."Siaap,didalam jok nih"."ini tas nasinya ditaruh didepan jok motor ya"."Iya bu ntar ditata lagi kalau mau berangkat sekolah"."Mas,kalau ada ekskul pulang dulu ya trus kalau nasinya masih kasih aja ke temennya mas buat makan siang"."Siiap bu,"."Ibu berangkat,assalamualaikum"."Waalaikumsalam".
Sepeda tua dengan keranjang nasi diboncengannya perlahan hilang dalam gelapnya pagi buta .
"Dik,Tahajut dik"."haa?jam berapa Dul?"."jam setengah empat dik"."Owh,syukron dul".Aku segera duduk bersandar dan memperhatikan sekitar.Astaufirlullah,aku ketiduran di mushola.
RPriasandi Short Stories
Jumat, 13 Januari 2017
Minggu, 13 November 2016
Menghipnotis Senja
Aku takut? Tatapan matanya,bukannya
dia galak,kaku dan dingin mungkin atau tidak.Apa itu yang kutakuti ?
tidak,belum tau maksudnya.Asrama di dekat kebun rambutan jadi tempat tinggal
pertamaku disini.Kenapa aku membahas hal ini?kenapa aku begini? Teringat kenangan?
Masa lalu? Tidak,satu bulan disini aku mulai merasa nyaman,sesekali dia
menatapku tajam.Ah,itu biasa.kenyamananku mulai terusik,rasa takut itu muncul
setelah dia menggantikan pembimbing tahfidz.Bukan mata itu yang aku takuti,tapi
setiap ingin menyetorkan hafalanku ke dia sekejap hafalanku hilang,mungkin aku
belum terbiasa,hal itu terus berlanjut dan seiring berjalannya hari bibir ini
mulai mengeluarkan sepatah kata.
Malam itu kita berkumpul di
mushola,dia memberikan wejangan.yeah...baru kali ini aku melihatnya berbicara,
suasana berbalik.Setelah bersepeda dan berbelanja ke pasar aku mulai
memasak,dia mengagetkanku dan mengajakku berbicara,tanganku yang sibuk
memainkan alat masak tidak berhenti sejenak layaknya seperti irama bibirku
menjawab perkataannya sambil meliuk di
depan meja dapur.Saking nyamannya tinggal disini,terkadang aku pergi tugas
sendiri atau dengan kelompok lain.Sendiri itu bebas,yeah...hampir semua daerah
disini telah kukayuh dengan sepeda gunung,track disini berbukit cocok sekali
dengan hobiku.Saat SMP aku sering bersepeda di tiga perempat malam,itu caraku
agar tidak tertarik dengan rokok atau miras.Yeah,temen sekelasku dengan
bangganya melakukan hal itu tiap ekskul day.Hoax,memang remaja sering merasakan
stres ketika ada masalah,yang dibutuhkan adalah ketenangan bukan
kesenangan,karenanya aku bersepeda di malam hari melewati jalan sepi seperti
kompleks eks pabrik gula,belakang PT.INKA dan sampai ke tengah ladang
persawahan.Tapi semua itu terlalu mainstrem,malam itu hatiku
bergemuruh,insomnia itu biasa.Aku keluar asrama dan bersepeda keliling pemkab
dan mampir kesebuah danau. “Ada apa?”.”Bagaimana jika aku berenang?”.”Seberapa
dalam ya?”.”Eh,aku tidak bisa berenang”.Kakiku berayun-ayun menyentuh
air,sorotan cahaya lampu samar-samar,pukul 23:45 WIB,aku terdiam mataku
terpejam dan badan mulai lemas seakan siap terhempas.Aku tersadar setelah
mencium sesuatu, pemancing di sebelahku kehilangan kesadaran.Sial,dia mabuk.Aku
segera pulang.Ketua kelompokku mulai jarang datang ke asrama.Walaupun tidak ada
intruksi,aku tetap bertugas.Tak seperti biasa,hari ini gerimis,kita masih
tertahan di asrama.Kami nekad berangkat.”Eits,tunggu dik,antum bareng ane aja
naik motor”,nggak ada petir kan? Ini masih pagi.Hmm,oke adrenalinku mulai
meningkat tapi sikapku dingin,anggap saja sama seperti ketua kelompokku.”Hujannya
cuma di bukhori doang ya dik,tuh disini aja terang”.sesekali kita mengobrol di
perjalanan,melewati area pemkab berjajar penjual durian di mobil bak terbuka.”Aromanya,hmm”.”Durian
dik?”.”Haa?”.”Kamu bisa renang ngak? berani renang disitu?”.wajahnya menoleh ke
danau.”Haa?” aku tersenyum.
Jumat, 08 Januari 2016
PERSINGA NGAWI
Nama lengkap | Persatuan Sepak Bola Indonesia Ngawi |
---|---|
Julukan | Laskar Alas ketonggo |
Didirikan | 1958 |
Stadion | Stadion Ketonggo Ngawi, Indonesia (Kapasitas: 10.000) |
Pemilik | Pemkab Ngawi |
Manajer | Dwi Rianto Jatmiko SH, M.Si |
Pelatih | -Rully Nere |
Liga | Divisi Utama Liga Indonesia |
2013 | ke-2 |
MISTERI ALAS KETONGGO
Eyang Srigati adalah Priyagung, seorang begawan dari Benua Hindia yang
datang ketanah jawa. Beliaulah yang menurunken Kerajaan-kerajaan di
Indonesia mulai dari Pajajaran, Majapahit, Mataram dan seterusnya. Semua
kisah Spiritual tertuang di Punden Srigati yang terdapat di desa
Babatan kec. Paron. Kab. Ngawi.
NGAWI. Alas Srigati ataupun dikenal dengan sebutan alas Ketonggo
merupakan tempat yang bersejarah menurut dari legendanya. Dengan adanya
daya tarik tersendiri itulah seperti biasanya pada saat 1 Muharam atau
pergantian malam bulan hijriyah selalu dipadati ribuan pengunjung dari
berbagai daerah. Sejak waktu mulai beranjak malam para pengunjung mulai
berdatangan, mereka ada yang datang dengan cara berkelompok dan
perseorangan. Terlihat dari plat nomor mobil yang dipakai pengunjung
dapat dinyatakan mereka berasal mulai daerah Yogyakarta, Solo, Semarang,
Surabaya dan daerah terdekat dengan Ngawi seperti Nganjuk, Kediri dan
Malang.
Acara ritual yang dilakukan para pengunjung di Alas Srigati waktunya pun
bervariasi mulai tengah malam sampai waktu shubuh. Dan begitu juga
tempatnya berlainan karena dilokasi Alas Srigati sendiri ada sekitar 12
lebih tempat petilasan. Seperti Punden Krepyak Syeh Dombo atau
Palenggahan Agung Brawijaya, Padepokan Kori Gapit, Palenggahan Watu
Dakon, Sendang Drajat, Sendang Mintowiji, Goa Sido Bagus, Sendang Suro,
dan Kali Tempur.
Menurut juru kunci Alas Srigati, Ki Among Jati menjelaskan secara rinci,
para pengunjung yang datang di Alas Srigati biasanya mereka ingin napak
tilas mengenang sejarah dimana Raja Majapahit yaitu Prabu Brawijaya V
singgah terlebih dahulu di Alas Srigati untuk melepaskan baju
kebesarannya sebelum melanjutkan perjalanan ritual ke puncak Gunung
Lawu.
Lanjut Ki Among Jati, pengunjung di Alas Srigati tidak melakukan hal-hal
yang sifatnya syirik, seperti menyembah punden segala macam. Akan
tetapi para pengunjung melakukan ritual mengambil tempat Alas Srigati
hanya sebagai tempat perantara untuk menyambung segala permintaan kepada
Allah SWT. Seperti terlihat di Palenggahan Agung Brawijaya pengunjung
sambil membakar dupa sebagai bentuk permintaan dan do’a kepada Yang Maha
Kuasa. ‘’Disini pengunjung mempunyai berbagai permintaan untuk
dikabulkan dari Yang Maha Kuasa, seperti minta kesehatan, keselamatan
dan masih banyak lagi dan jangan dianggap di Alas Srigati ini melakukan
hal-hal yang menyimpang dan untuk hari biasa yang ramai dikunjungi yaitu
pada hari malam Jum’at Kliwon, Jum’at Legi dan malam Selasa Kliwon’’
jelas Ki Among Jati.
Sementara kilas balik dari sejarah ditemukannya petilasan Srigati
merupakan dari jasa mantan Kepala Desa Babadan pada tahun 1963 yaitu
Somo Darmodjo kemudian tahun 1974 didatangai Gusti Dorodjatun IX
menyatakan benar bahwa petilasan Punden Krepyak Syeh Dombo merupakan
bagian dari sejarah dari Majapahit.
Saat itu Prabu Brawijaya melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Lawu
dan oleh Gusti Dorodjatun IX dinamakan dengan sebutan Srigati. Namun,
dengan adanya wisata religi Alas Srigati tidak dibarengi pengembangan
potensi yang ada seperti fasilitas jalan yang menuju lokasi Alas Srigati
yang kondisinya sangat rusak terlihat disana-sini berlubang.
Alhamdulilah dari tahun 2011 jalan menuju ke alas srigati atau ketonggo
sudah mulai di perbaiki, begitu pula gerbang pintu masuk, warung,
mushola dan prasarana lainnya.
Alas Ketonggo, “alas” berarti hutan, dasar pokok atau keramaian.
Ketonggo berasal dari kata “katon” (terlihat) dan “onggo” (makhluk
halus) atau makhluk halus atau kehidupan yang halus yang katon atau
kelihatan. Siapapun yang meyakini kekuasaan Tuhan harus meyakini adanya
alam rohani, tempat kehidupan makhluk-makhluk rohani atau gaib. Ada
kehidupan setelah terjadi kematian, yaitu alam kehidupan gaib atau alam
rohani bagi para arwah yang telah meninggalkan dunia atau alam kehidupan
jasmani.
Mengapa alas ketonggo menjadi sinandi pencerahan rohani dan jasmani
beserta kejayaan umat manusia, di dalam pengetahuan luhur budaya Jawa?
1. Alas walaupun disebut hutan yang oleh beragam makhluk hidup seperti
pepohonan, hehewanan serta makhluk halus yang berasal dari arwah-arwah
para leluhur masa silam, sebagai ekspresi fenomena hawa dan nafsu kita
semua, yang liar dan terkendali.
2. Sinandi alas ketonggo sebagai sinandi kehidupan jagat cilik (hawa dan nafsu-kita) dan jagat gedhe (alam semesta).
3. Alas ketonggo dalam pengertian jagat cilik adalah fenomena kehidupan
kita, yang pada dasarnya sulit dikendalikan tetapi harus mampu kita
kendalikan. Sedangkan alas ketonggo dalam arti makro atau dalam
pengertian nyata, seperti Kraton beserta Raja-nya sebagai sentral
budaya, tempat-tempat yang dimitoskan atau disakralkan dalam kegiatan
peziarahan. Arti pesan yang mendalam bahwa kita tidak boleh meninggalkan
budaya dan sejarah masa lalu.
4. Alas Ketonggo tempat arwah-arwah para leluhur yang telah meninggalkan
dunia puluhan hingga ratusan tahun, namun belum berpulang dihadirat
Tuhan, dan masih menyimpan rapi di dalam tubuh halus maniknya.
5. Banyak pengetahuan masa silam yang sebagai simbol jati diri dan
identitas bangsa-mu di Alas Ketonggo. Oleh itu, kehidupan para arwah
leluhur masih aristokrat, sesuai peradaban budayanya lalu.
6. Peradaban budaya beserta nilai-nilai luhur masa silamnya menyimpan
potensi kekuatan identitas dan jati diri bangsa-mu. Apabila bangsa-mu
ingin jaya dan menjadi terang dunia harus berpijak pada budaya atau jati
diri dan identitasmu.
7. Jangan melupakan sejarah atau budaya leluhur-mu, jika melupakan sejarah dan budaya-mu dari situlah kelemahan bangsa-mu.
8. Pahamilah sandi Alas Ketonggo, sebab dialah yang menyimpan sejarah,
rahasia dan kenangan masa lalu yang membantu dirimu untuk menemukan jati
diri dan identitasmu.
9. Bukankah bangsamu mengalami krisis keyakinan dan kepercayaan akan
jati diri dan identitasmu. Artinya bangsamu telah asing mengenali
potensi dirinya.
10. Bahkan bangsamu tidak mengetahui dan menyadari kekrisisannya. Itulah
bencana akibat meninggalkan pilar dan pondasi budayanya.
11. Negara dan bangsa manapun akan mengalami kejayaan jika telah
menemukan jati diri dan identitasnya (budayanya) dan itu tersimpan dalam
sandi Alas Ketonggo.
12. Walaupun sandi Alas Ketonggo disebut dan dikatakan mitos bagi
pemahaman modern, tetap mereka jaya sebagai pusat pemikiran dikarenakan
berangkat dari mitos atau yang disebut angan-angan, harapan, cita-cita,
impian, dll.
13. Bangsa manapun tidak akan maju dan jaya jika meninggalkan
angan-angan, harapan, cita-cita, keinginan, kehendak, harapan, impian
yang kesemuanya adalah simbol mitos.
14. Lihatlah bangsa-bangsa yang telah jaya, mereka mengawali kejayaannya
dengan kesadaran kolektif mitosnya di dalam jiwa pikiran, perasaan,
budi dan perilaku indera jasmaninya atau cipta, rasa dan karsanya.
15. Alas Ketonggo sandi untuk menggali jati diri dan identitasnya
sebagai awal mengumpulkan kekuatan untuk terbebaskan dari kesengsaraan,
derita, ketidaktentraman dan ketidakdamaian, ketidakmakmuran, kemiskinan
dan belenggu bangsa-mu.
16. Bangsa yang telah jaya menggali budaya asalnya sendiri melalui
prosesi sinandi alas ketonggo dengan menghormati perjuangan leluhurnya.
17. Bagaimana bangsamu atau dirimu akan mendapatkan pencerahan dan
kemerdekaan hidup bagi bangsamu, jika dirimu saling berjuang demi
kepentingan dan kekuasaan kelompok-mu.
18. Salah satu nasehat sinandi Alas Ketonggo,“Janganlah energi jiwa hawa
dan nafsumu saling bertubrukan menyalakan api kesengsaraan yang
menambah dirimu atau bangsamu saling terbelenggu dan membelenggu”.
19. Jika energi jiwa hawa dan nafsumu saling bertubrukan atau
bertabrakan maka dirimu akan saling memiliki kebingungan, saling
memiliki kekhawatiran, saling memiliki ketakutan, sekalipun hal itu
terungkap atau tidak terungkap.
20. Masuklah ke alam alas ketonggo, disitulah banyak pengetahuan yang
mengisi kekurangan dan kelemahanmu, agar dirimu tidak mudah bingung,
takut, khawatir, menderita dan sengsara, dll.
21. Jika dirimu mampu membuka sinandi Alas Ketonggo, ambillah potensi
lebihnya dan jadikan kelemahannya menjadi hikmah, agar dirimu trampil
menghimpun kekuatan dan mengerti keinginan dan kehendak energi hawa dan
nafsu untuk menyelamatkan generasi muda bangsa-mu.
22. Jika telah mampu membuka sinandi Alas Ketonggo, para leluhurmu akan
berinteraksi denganmu dan memberikan pengetahuan yang memubuat bangsa-mu
jaya dan maju.
23. Memasuki alas ketonggo diperlukan seni ketrampilan melepaskan
belenggu tubuh jasmani, jika tidak memiliki hanya akan dapat kesunyian
dan aktivitas kesendirian tanpa arti dan makna seperti melamun atau
menghayal.
24. Alangkah lebih lengkapnya jika dirimu yang memiliki kecerdasan akal
jasmani, kemudian memiliki kecerdasan rohani di dalam pikiran, perasaan
dan budimu, maka pengetahuan dan ketrampilanmu akan disebut seimbang.
25. Sungguh keseimbangan diperlukan jika memasuki alas ketonggo, agar
akal jasmani dipersiapkan agar tidak mengalami gejolak keterbatasan
dengan kehidupan rohani.
SukaSuka ·
Alas Ketonggo Ngawi ( Srigati ) Menyimpan Berjuta Misteri
SRIGATI begitulah nama ini yang terkenal di kalangan masyarakat Ngawi
daripada nama asli hutannya yaitu Alas Ketonggo. Nama Srigati ini
sebenarnya merupakan sebuah tempat dimana seseorang mencari kedamaian
batin untuk mendapatkan pencerahan dari sang pencipta agar dapat
menyelesaikan sebuah masalah atau sekedar mendekatkan diri kepada sang
Kholiq melupakan sejenak masalah duniawi.
Pada tahun 2013 kemarin tempat ini juga sempat menjadi bidikan acara TV
swasta Nasional dalam acara Mister Tukul Jalan-jalan, di dalam acara
tersebut ustad Solehpati juga menjelaskan berbagai cerita dan tempat
ghaib berupa jalan menuju sebuah kerajaan, dan di perkuat lagi gambar
ghaib dari ustad solehpati. untuk video anda bisa mengunjungi youtube.
Dari gambar di atas sudah jelas bahwa Srigati merupakan tempat yang
banyak memiliki misteri yang tidak bisa di ungkap dengan kekuatan
manusia, karena hanya Allah SWT yang maha tahu. Dan pada saat bulan
Agustus tepatnya hari kemerdekaan banyak kalangan pelajar terutama
Ekskul Pramuka mengadakan Perkemahan tingkat Kwarcab di Srigati. Agar
anak didik lebih menghargai lingkungan dan alam tanpa meninggalkan
sejarah.
------------
Tersesat di Kampung Jin Alas Ketonggo
sumber Kompasiana
Gerbang Alas Ketonggo
sumber Kompasiana
Gerbang Alas Ketonggo
Alas Ketonggo di Ngawi ini adalah salah satu obsesi untuk Dikunjungi.
Entahlah saya begitu menyukai sesuatu tempat yang menyimpan mitos dan
misteri. Dua bulan yang lalu saya berkesempatan mengunjungi salah
satunya, Alas Ketonggo atau Alas Srigati di Kab. Ngawi. Mungkin karena
itulah, hampir semalaman mataku sulit terpejam membayangkan betapa
asiknya perjalanan ke Alas Ketonggo, Paron, Ngawi, Jawa Timur. Dan
rencananya saya berangkat dengan dua teman yang sudah janjian
sebelumnya.
Adzan subuh berkumandang dari corong Musholla yang tak jauh dari rumah
di mana saya tinggal di Tuban. Saya beranjak dari peraduan untuk
mempersiapkan segala sesuatunya guna perjalanan nanti.
Sekitar pukul 09.00 WIB, dua teman saya datang. Setelah sejenak
berbincang sambil meyeruput kopi panas, kami pun langsung berangkat
dengan mobil menuju lokasi. Estimasinya jarak tempuh ke Ngawi paling
lama 4-5 jam perhitungannya pada lepas Asyar nanti kita sudah sampai
lokasi.
Pesarean Srigati
Perjalanan melewati jalan-jalan kota dan jalan raya provinsi tidaklah
terlalu istimewa. Namun memasuki pedesaan wilayah Padangan, Bojonegoro
suasana mulai terasa istimewa. Hawa lumayan sejuk memasuki anggota
tubuhku yang dari Tuban menuju Ngawi sekaligus merangkap sopir. Di
pinggir kanan kiri jalan, tampak rimbunnya hutan jati yang tertimpa
cahaya senja.
Baiklah, saya ceritakan sedikit mengenai tempat tujuan saya kali ini
yakni Alas Ketonggo. Bagi siapa pun yang gemar akan wisata spiritual
pasti sudah pernah mendengar nama Alas Ketonggo atau ada sebagian orang
yang menyebutnya dengan alas Srigati. Kawasan hutan yang memiliki
pemandangan cukup indah ddan rindang ini ternyata menyimpang sejuta
misteri penuh nuasa mistis.
Alas Ketonggo, adalah hutan dengan luas kurang lebihnya 5000 meter
persegi, yang berada lereng Gunung Lawu tepatnya di Desa Babadan,
Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi, dengan waktu tempuh sekitar satu jam
dari pusat kota Keripik ini kearah selatan
Perjalanan dari Tuban ke Ngawi ini sebenarnya relative mudah, hanya
beberapa ruas jalan di Kalitidu, Bojonegoro saja yang agak macet karena
ada pengecoran jalan yang belum rampung. Ternyata benar perhitungan
saya, kami baru sampai di gerbang Srigati atau Alas Ketonggo sekitar
pukul 5 sore. Meski sebelumnya kami sempat nyasar kurang lebih 20 KM
kebablasen.
Karena baru pertama kali, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil
gambar disekitar lokasi. Setelah merasa cukup dengan mengambil gambar
disekitar lokasi pintu masuk Alas Ketonggo dan melapor sama juru kunci
perihal kedatangan kami. Kami melepas penat karena semenjak berangkat
dari Tuban menuju ke Alas Ketonggo ini kami tanpa istirahat, sekaligus
kami sempatkan untuk mengisi perut yang memang banyak warung di pintu
masuk ini.
Di Srigati atau Alas Ketonggo ini dari penuturan Pak Marji adalah konon
kabarnya, tempat ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu
Brawijaya V setelah lari dari kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu
oleh bala tentara Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Disini, terdapat
Pelenggahan Agung yang banyak dijadikan sebagai tempat bermeditasi bagi
mereka yang ingin Ngalap berkah dalam usaha dan Lain-lain.
Masyarakat sekitar percaya bahwa Pelenggahan tersebut merupakan tempat
dimana Raden Wijaya bertapa mencari petunjuk sebelum membangun kerajaan
Majapahit. Di Srigati juga terdapat sebuah batu besar yang biasa di
sebut “Watu Gede” atau Batu Besar, konon disinilah merupakan pintu
gerbang kerajaan “Dunia Lain” yang ada disana. Selain itu disini ada
sebuah tempat bertemunya dua muara sunga yang disebut “Kali Tempuk” yang
sering digunakan untuk mandi bagi mereka yang mendalami ilmu kekebalan,
agar awet muda, dan berbagai tujuan lainnya.
Setelah menikmati mie rebus dan segelas kopi di warung waktu sudah
menujukkan pukul 18.30. seperti petunjuk Pak Marji sang juru kunci
adalah waktu yang tepat untuk mandi di kali tempuk atau dua aliran
sungai yang bertemu
Mudah saja menuju akses ke lokasi Kali Tempuk ini karena ada papan
petunjuknya. Sampai pada lokasi terlihat masih ada banyak peritual yang
tapa berendam di kali ini sambil menyulut dupa/hioswa. Karena menunggu
terlalu lama peritual yang lain mentas, akhirnya saya putuskan untuk
mandi juga dan tak berapa lama kemudian peritual lain selain kami
bertiga sudah mentas dan naik. Tinggal kami bertiga.
Salah satu hal yang akan membuat hati merasa diselimuti hawa mistis di
sini adalah ketika kita melihat orang-orang yang sedang melakukan
ritual. Ada yang bertapa dipinggir kali, nyekar bunga di bawah pohon,
bahkan ada yang rela tinggal di situ mengabdikan dirinya untuk terus
bertapa di alas (hutan) ini. Memasuki Palenggahan Agung yang nampak
adalah kain putih sebagai simbol kesucian yang menambah hawa mistis di
sini.
Tak lebih dari sejam kami bertiga berendam di Kali Tempuk itu, selain
karena banyak nyamuk juga lumayan dingin. Setelah mengobrol sejenak dan
menikmati nuansa malam sungai yang terbalut mistis tadi kami bertiga pun
beranjak naik untuk melewatkan malam di Palenggahan Agung.
Namun anehnya, perasaan saat akan menuju ke Kali Tempuk ini tidak ada
jalan bercabang namun bengitu kami sampai ada jalan bercabang.
Barangkali tadi kami kurang jeli, pikirku. Tapi hati kecilku sangat
yakin kalau jalan setapak ini tunggal yang harusnya menikung kekiri
kalau dari atas. Karena bingung, saya minta seorang temen yang paling
depan untuk berhenti sejenak dan meminta pertimbangan pilih yang mana,
kiri atau ke kanan. Karena dua teman sepakat yakin yang kiri ya sudah
saya manut saja. Tapi sejujurnya saya yakn arah yang kanan jalan menuju
ke Palenggahan Agung.
Beberapa menit perjalanan, saya mulai melihat keanehan yang tidak
biasanya kami lewati barusan saat akan menuju ke Kali Tempuk. Di arah
depan ada kabut yang amat tebal, mungkin ini fenomena alam biasa. Jadi
tidak ada alas an dengan kabut itu. Kira-kira semenit perjalanan kami
menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut mulai menipis. Setelah itu,
kami memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagiku. Mengapa,
seingatku tak ada kampung selain deretan warung penyedia makanan dan
minuman di Alas Ketonggo ini. Saya mulai tersadar kalau kami memang
kesasar.
“Kayaknya, kita salah jalan ya, Kang!” kata seorang temen yang paling
depan yang lantas kemudian saya mengajak dua teman yang lain untuk
berhenti berjalan.
“Wah, kalau begitu kita tanya saja ke orang-orang itu,” ujar temen saya
yang lain. Ketika itu memng terlihat beberapa orang tengah berjalan
searah dengan kami atau sebaliknya. Sangat aneh!
“Sebentar dulu,, kita jalan saja dulu pelan-pelan. Coba perhatikan ada
yang aneh nggak dengan suasana di kampung ini. Perasaanku mengatakan,
kampung ini memang aneh.” Kataku setengah berbisik.
Kami berjalan pelan dan sesekali berhenti. Kami perhatikan kampung itu
dengan hati yang kian tak menentu. Hal utama yang menarik perhatianku
adalah ketika aku melihat banyak sekali jagung yang sudah dikupas
dibiarkan begitu saja di pinggir jalan perkampungan. Beberapa orang
laki-laki juga terlihat berdiri di depan pintu pagar rumahnya
masing-masing. Ada juga terlihat wanita-wanita yang menggendong
anak-anaknya dengan kain batik. Saya lihat juga ada orang sedang membuat
perapian di halaman rumahnya. Dari semua yang kami perhatikan itu,
untuk sementara kami belum menyadari adanya keanehan dari orang-orang
itu.
“Kita berhenti saja kang di depan warung itu. Kita coba tanya saja jalan
ke Palenggahan Agung!” pinta seorang temen sambil menunjuk keaarah
sebuah kedai yang ada di pinggir jalan. Dan saya menyepakatinya.
Ternyata pemilik warungnya adalah seorang wanita. Namun sebelum
bertanya, saya bisikkan pada temen untuk membaca Bismillah…
Sementara seorang teman berjalan kearah wanita pemilik warung itu dan
sedang sibuk menyapu lantai warungnya barangkali menjelang tutup, pikir
saya. Saya memperhatikan warung kecil itu. Warung itu terlihat menjual
berbagai kebutuhan hidup sehari-hari seperti sabun, odol, kue-kue kecil,
aneka gorengan, beras, kopi sachet, sapu lidi, dll.
Kemudian saya perhatikan wanita pemilik warung itu. Saya coba mengenali
wajahnya. Tapi tak bisa. Rambutnya panjang terurai kira-kira sebatas
punggung. Seolah mengerti kalau sedang saya perhatikan, dia hanya
menunduk sambil tangannya terus menyapu-nyapu lantai ditempat yang sama.
Saya lihat temen saya bertanya padanya. Tapi anehnya wanita pemilik
warung itu tidak terlihat mengangkat wajahnya. Dia seperti parasnya
tidak diketahui oleh orang lain. Sesaat kemudian, temen saya yang
bertanya itu kembali kearah kami berdua. “Gimana?” tanyaku.
“Katanya, terus saja jalan. Nanti juga sampai!” jawab temenku. Dia lalu
menggumam. “Perempuan itu aneh sekali. Dia mau bicara denganku, tapi
mukanya menunduk terus”.
“Aku juga lihat hal itu kok!” tanggapku. Lalu saya berinisiatif, “Sebentar ya. Aku mau beli gorengan dulu!”.
Karena rasa penasaran, saya mencari alasan agar bisa mendekati wanita
itu. Ketika itu, spontan terlintas dalam pikiranku hendak membeli
gorengan. Disamping untuk melihat lebih dekat si pemilik warung,
setidaknya gorengan itu lumayan juga untuk pengganjal perut.
“Assalamu’alaikum!” saya member salam padanya. Tanpa menjawab salamku,
kali ini dia berhenti menyapu tapi tetap menundukkan wajahnya.
Lalu katanya dengan ketus, “Ada apa lagi, Mas!”
“Saya mau membeli pisang gorengnya, Bu!” jawabku.
Wanita itu diam sejenak, lalu jarinya menunjuk kearah plastik
pembungkus, sambil katanya lagi. “Silahkan pilih saja…itu kantongnya!”
Saya mengambil kantung plastic di dekat gorengan pisang itu. Laku saya
masukkan 10 buah kedalamnya. “Sepuluh biji saja, Bu. Berapa harganya?”
tanyaku.
“Berapa saja, Mas”. Jawabnya datar.
Saya sebenarnya bingung, tapi cepat-cepat saya buang kebingunganku itu
lalu merogoh kocekku. Saya ambil selembar 5 ribuan, dan ingin kuberikan
langsung padanya. Tapi sebelum uang saya berikan, si pemilik warung
berkata lagi, “Uangnya ditaruh di atas situ saja, Mas”. Sambil menunjuk
dagangan gorengannya.
Kini perempuan itu berdiri di belakang tumpukan karung beras setinggi
perutnya, dengan kepalanya terus menunduk. Saya taruh selembar uang 5
ribuan itu, lalu segera permisi pergi. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih pada wanita itu, meski dia tetap diam tak menjawab.
Selepas dari warung tak sengaja saya lemparkan pandangan pada
sekeliling. Ketika saya perhatikan jalan, orang-orang yang tadi kami
lewati, semua tidak kelihatan wajahnya alias kepala mereka semua
tertunduk.
Barulah kami menyadari keanehan yang tadi belum terpikirkan, yakni semua
orang di kampung ini menundukkan kepalanya seolah menyembunyikan wajah
mereka. Dan anehnya lagi, kami tidak merasa merinding atau takut meski
kami sudah mengerti kalau sedang berada di dunia lain.
Akhirnya, kamipun melanjutkan jalan mengikuti jalan kecil. Sampai
kemudian, kampung aneh itu terlewati dan kami bertemu jalan yang yang
mengarah ke Kali Tempuk, dan benar kali ini tidak lagi bercabang alias
jalan tunggal.
Lega rasanya karena tampak di depan adalah deretan warung-warung meski
sudah tutup. Setelah sampai pada Palenggahan Agung kami langsung ke
mobil mengambil HP yang sengaja tidak kami bawa kecuali kamera digital
saja untuk mengambil gambar di Kali Tempuk tersebut. Keanehan kembali
membuat kami saling berpandangan setelah tahu dari HP bahwa waktu sudah
menujuk pukul 03.40 WIB. Semakin pening memikirkan kejadian yang aneh
ini.
Sambil duduk-duduk di pinggir mobil, seorang temen yang tadi kebagian
membawa bungkusan pisang goreng yang saya beli di warung perempuan aneh
itu yang di taruh di ranselnya. Anehnya, dia tidak menemukan plastic
bungkusan pisang goreng tadi, yang ada hanyalah bungkusan daun jati. Dia
buka bungkusan itu, ternyata didalamnya ada 10 lembar daun kering dan
selembar uang 5 ribuan yang tadi saya bayarkan di warung wanita yang
aneh itu.
Saya ceritakan pengalaman yang aneh itu kepada Pak Marji esok paginya,
sang kuncen Alas Ketonggo. Dia mengeryitkan dahi, Pak Marji mengatakan.
“Kalian sudah tersesat di kampungJin, untungnya jin-jin di kampung itu
tidak atau jarang mencelakai manusia, atau mungkin kalian masih bisa
menjada adab di Alas Ketonggo ini”. Kata Pak Marji setenggah bergumam.
Begitulah cerita tersesatnya kami di kampung jin Alas Ketonggo. Sampai
akhirnya kami bertiga kembali dengan selamat. Dari kisah yang saya tulis
kali ini, ada pelajaran yang bisa saya petik adalah, kemanapun pergi,
jangan lupa berdzikir, agar selalu mendapat perlindungan Nya. Jadi bukan
masalah permisi atau tidak. Atau mungkin besarnya rasa penasaran kami,
sehingga kami diberi petunjuk. Akhir kata. Sekian dulu dan wasssalam.
Matur nuwun..
--------------
Kisah yang serupa.....
SEPOTONG CERITA DARI ALAS KETONGGO
SEPOTONG CERITA DARI ALAS KETONGGO
Wilayah Kabupaten Ngawi sebenarnya kaya akan potensi tempat wisata yang
bisa diperdayakan. Satu di antaranya adalah Alas Ketonggo. Tempat ini
adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi, yang terletak 12 KM arah
selatan dari Kota Ngawi, Jawa Timur. Menurut masyarakat Jawa, Alas
Ketonggo ini merupakan salah satu dari alas angker atau ‘wingit’ di
tanah Jawa. Kepercayaanya, di tempat ini terdapat kerajaan makhluk
halus. Sedangkan satu hutan lainnya yang juga dianggap angker adalah
Alas Purwa yang terletak di Banyuwangi, Jawa Timur. Alas Purwa disebut
sebagai Bapak, sedangkan Alas Ketonggo disebut sebagai Ibu. Kawasan Alas
Ketonggo mempunyai tempat pertapaan, di antaranya Palenggahan Agung
Srigati.
Eyang Srigati adalah Priyagung, seorang begawan dari Benua Hindia yang
datang ketanah jawa. Beliaulah yang menurunkan Kerajaan-kerajaan di
Indonesia mulai dari Pajajaran, Majapahit, Mataram dan seterusnya. Semua
kisah Spiritual tertuang di Punden Srigati yang terdapat di desa
Babatan kec. Paron. Kab. Ngawi.
Hutan Ketonggo, demikian sebutan masyarakat Ngawi untuk hutan yang
terletak 12 kilometer arah selatan Kota Ngawi itu. Meski sebetulnya sama
dengan hutan-hutan lainnya, namun Ketonggo lebih kesohor dibanding
hutan-hutan lain di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Apa yang membuat
Ketonggo termasyhur? Sampai-sampai kesebelasan perserikatan Ngawi yakni
Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga), dijuluki “Laskar Ketonggo”?
Lokasi Pesanggrahan Srigati yang terletak 12 km arah barat daya Kota
Ngawi, tepatnya di Desa Babadan Kecamatan Paron, dapat ditempuh dengan
berbagai macam kendaraan bermotor. Pesanggrahan Srigati merupakan obyek
wisata spiritual yang menurut penduduk setempat adalah pusat keraton
lelembut / makhluk halus. Dilokasi ini terdapat petilasan Raja
Brawijaya. Pada hari-hari tertentu seperti Jum’at Pon dan Jum’at Legi
pada bulan Syuro, Pesanggrahan Srigati banyak dikunjungi oleh para
pesiarah untuk menyaksikan diselenggarakannya upacara ritual tahunan
“Ganti Langse” sekaligus melaksanakan tirakatan / semedi untuk ngalap
berkah.
Orbitasi :
Dengan ruas jalan Kabupaten Kecamatan Paron 6 Km
Dengan ruas jalan Provinsi Km 6 ( Ngawi – Solo )
Dengan Kota Ngawi 12 Km
Terdapat legenda seputar keberadaan alas Ketonggo. Konon tempat ini
dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari
kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak
dibawah pimpinan Raden Patah.
Dikisahkan, ditempat itulah dalam perjalananya ke Gunung Lawu, Prabu
Brawijaya V melepas semua tanda kebesaran kerajaan (jubah, mahkota, dan
semua benda Pusaka), namun kesemuanya raib atau mukso. Petilasan Prabu
Brawijaya V ini ditemukan mantan Kepala Desa Babadan, Somo Darmojo (alm)
tahun 1963 berupa gundukan tanah yang tumbuh setiap hari dan mengeras
bagaikan batu karang. Kemudian tahun 1974 didatangi Gusti Dorojatun IX
yang menyatakan bahwa petilasan tersebut bagian dari sejarah Majapahit
dan petilasan tersebut diberi nama Palenggahan Agung Srigati.
Palenggahan Agung Srigati ini terdapat berbagai benda-benda yang secara
simbolik melambangkan kebesaran Kerajaan Majapahit, baik berupa mahkota
raja, tombak pusaka, gong, dan lain-lainnya.
Di dalam ruangan ini sangat pekat aroma dupa dan wangi bunga, hal yang
sangat wajar kita temukan di sebuah tempat sakral. Dupa dan taburan
bunga ini berasal dari para pengunjung. Mbah Marji (juru kunci)
menerangkan bahwa ”Gundukan tanah tersebut biasanya terus tumbuh dan
bertambah tinggi, tapi pada saat tertentu tidak tumbuh,” terangnya.
Gundukan tanah tersebut bisa dipercaya dijadikan pertanda pada bumi
Indonesia.
Keberadaan Pesanggrahan Srigati-sebuah obyek wisata spiritual di
Ketonggo merupakan sebab utama kemasyhuran hutan seluas 4.846 meter
persegi itu. Kepercayaan masyarakat yang menganggap Ketonggo sebagai
pusat keraton lelembut atau makhluk halus, dikukuhkan dengan banyaknya
tempat-tempat pertapaan yang mistik dan sakral. Menurut catatan, di
Ketonggo terdapat lebih dari 10 tempat pertapaan. Mulai dari
Pesanggrahan Agung Srigati, Pundhen Watu Dhakon, Pundhen Tugu Mas, Umbul
Jambe, Pundhen Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem, Sendang Drajat,
Sendang Panguripan, Sendang Mintowiji, Kori Gapit, dan Pesanggrahan
Soekarno.
Memasuki hutan Ketonggo, para tamu langsung dapat melihat Pesanggrahan
Agung Srigati, berupa sebuah rumah kecil berukuran 4×3 meter. Di
dalamnya terdapat gundukan tanah, yang dari hari ke hari terus tumbuh,
sehingga makin lama makin banyak. Dinding rumah itu dikitari bendera
panjang Merah-Putih. Khas tempat sakral, Pesanggrahan Srigati pekat
dengan bau dupa. Di sekitar tanah, yang terlindung atap rumah itu, juga
berserakan bunga tabur yang selalu disebarkan para tamu.
“Seperti pada saat terjadi krisis moneter 1997, sebelumnya gundukan
tanah tersebut tidak tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan
yang menyembul ke permukaan,” Mbah Marji mengisahkan sebelum terjadi
semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, dan gelombang Tsunami Aceh, gundukan
tanah tersebut terlihat ‘cekung’, katanya, sembari mengungkapkan bahwa
tanah itu selalu dibawa tamu yang bertapa di situ, sehingga selalu
berkurang sedikit demi sedikit.
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan Jumat Legi, serta pada
bulan Suro dalam kalender Jawa, ribuan masyarakat Jawa maupun luar Jawa
mendatangi tempat ini berbondong-bondong ke pesanggrahan ini untuk
merenung, tirakat dan berdo’a pada Sang Khaliq.. Pada saat-saat yang
dianggap keramat itu, warga berdoa dan bertapa untuk meminta berkah.
Baik itu berkah karier atau jabatan, keselamatan, kesehatan, jodoh, dan
sebagainya.Seperti pengakuan Iwan (38) warga Purwokerto, Jawa Tengah.
”Saya di sini sudah 4 bulan untuk merenung dan mencari petunjuk tentang
jati diri ,” tuturnya.
Tak hanya di Srigati. Beberapa lokasi sakral lain di Ketonggo, juga
diyakini dapat mengantarkan mereka menuju cita-cita yang diinginkan.
Misalnya, mandi di Kali Tempur Sedalem, sebuah sendang yang merupakan
pertemuan dua sungai, dan sesudah itu memanjatkan doa di tugu di
dekatnya, diyakini harapannya akan dapat terwujud. Adapun Pesanggrahan
Soekarno, disebut demikian karena konon Presiden pertama RI Ir Soekarno
pernah bertapa di tempat itu. Dikisahkan, ada seseorang tak dikenal yang
pernah membawa foto Bung Karno yang sedang bertapa di tempat berdirinya
Pesanggrahan Soekarno sekarang ini. Orang itu membawa foto Bung Karno
bertapa tersebut, tahun 1977.
Langganan:
Postingan (Atom)